Wednesday, February 28, 2007

...and she remains beauty as always


*miss you rain*
today's mood: blue. I know I should have my big white toblerone with me. sigh.

Monday, February 26, 2007

though my broken heart
tear my dreams apart
I'll be all right
I'll be all right


(Anggun - I'll be All Right)



It is funny how sometimes time can make you look back at the dream that you thought you had left it behind. And again, you try to make it comes true. As some words are better left unspoken, I believe some dreams are more beautiful if they remains as a dream.


Because even if you have wings, some stars remains unreachable.

Friday, February 23, 2007

I don't have time to call
I'm busy
I don't have time to chat
I'm busy
I don't have time to send you a message
I'm just too busy


but I have time to listen
and I do always have time to loving you

Thursday, February 22, 2007

there were the nights
holding you close
someday I'll try to forget them
as soon as my heart stops breakin
anticipating
as soon as forever is through
I'll be over you


(Toto - I'll be over you)



Some songs are obviously timeless.

Wednesday, February 14, 2007

siapakah di antara kalian yang tak akan mengarungi lautan, melintasi gurun-gurun, mendaki gunung-gunung dan lembah-lembah untuk menggapai gadis yang jiwanya telah kau pilih?
(Kahlil Gibran)



Gara-gara sebuah bacaan teenlit (minjem, bukan beli *kekeuh*) saya sempat termenung, seberapa jauh seorang laki-laki akan pergi untuk meraih wanita yang ia pilih? Pertanyaan sederhana dengan jawaban tidak sederhana. "Pergi" di sini bukan hanya dalam arti harafiahnya, pindah dari satu tempat ke tempat lain tapi bermakna lebih luas.


Seberapa jauh seorang laki-laki mau merubah kebiasaan buruknya demi sang putri dan seberapa jauh pula ia mau menyeberangi perbedaan adat istiadat bahkan keyakinan buat merebut hati si wanita. Seberapa jauh ia mau pergi mengarungi hal-hal asing dan baru baginya. Pada titik tertentu ia mungkin harus menukar persahabatannya dengan sebentuk hati yang dicari meski pada akhirnya seringkali semua pengorbanan itu dilupakan oleh sang dara. Been there, done that!! *And they say man is selfish???*


Sejatinya ketika laki-laki telah menjatuhkan pilihan maka ia bisa pergi sejauh yang dibutuhkan untuk meraih tujuannya meski kadang terlihat ekstrim bagi orang lain. Kalau perlu seperti dalam cerita dongeng, ia bisa saja menjadi knight in shining armor atau dragon rider. Batas-batas yang ada pun bukan lagi masalah sebagaimana penuturan Gibran di atas.

Tuesday, February 13, 2007

Swedia adalah salah satu negara yang sudah mengaplikasikan Single Identity Number (SIN). Setiap orang memiliki nomor id yang unik dan disimpan dalam sebuah database utama. SIN inilah yang dipakai kemana-mana jika berurusan dengan administrasi. Dan karena systemnya yang sudah integrated, tersambung dengan berbagai instansi pemerintah maka perjalanan hidup seseorang tercatat dengan baik.


Riwayat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anak dan istri, catatan kriminal sampai riwayat kesehatan pernah menderita sakit berat apa sampai harus menginap di rumah sakit semuanya tercatat. Orang tidak bisa berlaku curang (paling tidak kemungkinannya dipersempit) karena setiap perbuatannya tercatat.


Jika negeri gendeng ini mengaplikasikan sistem serupa, banyak manfaat yang bisa dipetik sebenarnya. Dengan membandingkan data kepemilikan dengan penghasilan kita bisa mempertanyakan kenapa seorang penjabat rendahan bisa punya dua villa di puncak. Dengan melihat data pendidikan dan pekerjaan kita bisa mengetahui apa benar seorang yang dianggap "pakar" telematika pernah menggondol gelar anu dari universitas anu sesuai anunya (klaimnya) atau tidak.


Dengan melihat catatan kriminal seorang manager HRD bisa mengetahui apakah si calon karyawan pernah jadi psikopat Hannibal Lecter atau malah punya kecenderungan Sumanto. Calon mertua juga bisa memeriksa riwayat calon menantu, pernah punya penyakit kelamin atau pernah jadi penjahat kelamin.


Mengisi formulir pendaftaran sekolah atau membuka rekening bank juga lebih mudah. Isi saja nomor SIN, sisanya otomatis bakal terikut. Tidak perlu berulang-ulang mengisi nama, alamat, tempat tanggal lahir dan tetek bengek lainnya. Setiap kali mau pemilu kita juga tidak perlu repot melakukan sensus segala sebab berapa jumlah penduduk yang valid untuk mencoblos tahun ini bisa dilihat di database.


Sebuah sistem online yang terintegrasi sebenarnya juga bisa mengurangi korupsi. Otomatisasi adalah musuh alami birokrasi. Makin panjang birokrasi = makin banyak meja yang mesti dilewati = makin tinggi cost-nya. Otomatisasi memangkas semua itu, dan karena sifatnya online, semua bisa dikerjakan dari kantor atau rumah. Ketimbang datang ke kantor instansi terkait untuk menyetor dokumen, upload saja dari kantor. Bebas biaya transportasi, bebas macet dan terpenting, tidak perlu menyelipkan amplop-amplop isi uang.


Otentikasi dan tingkat keamanan bisa dipilih sesuai level dan budget tentu saja. Saya tidak mengatakan kalau semuanya harus sophisticated dan high-tech. Dalam implementasi IT yang pertama dilihat selalu mana yang paling tepat guna baru sisanya menyusul. Dalam hampir setiap masalah teknologi selalu menyediakan jalan keluar, tinggal manusianya saja yang mau menjalankan atau tidak.

Monday, February 12, 2007

Ada beberapa tempat yang bisa membuat nafsu saya memburu, "anu" menjadi tegang dan hasrat meluap-luap. Sebelum terlanjur berprasangka baik dijelaskan di sini kalo kata "anu" di atas berkonotasi dengan kartu debit atau dompet yang tegang lantaran sebentar lagi mungkin harus mengeluarkan sangu dalam jumlah lumayan.


Tempat-tempat yang demikian seperti pameran buku murah yang mengenakan harga 20%-30% di bawah harga normal. Sebuah buku tentang sejarah perang eropa yang di Gramedia dihargai 90k, di situ cukup ditebus dengan 64k saja. Belum lagi judul-judul lain yang bikin saya melotot sekaligus jengkel karena tidak membawa dana cukup sementara sang kasir hanya mau menerima cash. Dia menolak keras dibayar dengan daun meski sudah dijanjikan di setiap helainya akan ada tanda tangan saya sebagai kenang-kenangan.


Ya saya termasuk maniak buku. Novel dan yang jelas bukan teenlit, sejarah dan ensiklopedi mesin-mesin perang adalah favorit, sama halnya dengan buku yang mengupas sepak terjang perusahaan kelas wahid seperti Google dan MS. Berikutnya biografi meski dengan sangat selektif, lihat dulu subyeknya dan lihat pengarangnya sebab sebuah biografi punya tendensi sangat besar untuk menjadi buku yang berat sebelah. Berikutnya komik, manga Jepang tentu saja. Komik Amerika terlalu tipis, lebih cocok jadi kipas sate dan tidak sebanding dengan harganya. Bacaan teenlit? Lebih baik pinjam. It's not worth the money.


Tempat kedua adalah toko cd/vcd/dvd original yang sedang cuci gudang. Di toko empat sering ada yang seperti ini, vcd original seharga 49k dijual 15k saja. Konsekuensinya memang filmnya film lama tapi kalo beruntung kita bisa mendapatkan cerita klasik Disney. Bambi, Snow White and the Seven Dwarfs saya dapatkan dari sini. Those are timeless fairy tales. Memang bisa saja kita mencari versi bajakannya di ITC, lebih murah karena sekeping cuma dihargai 5k tapi untuk melengkapi koleksi di rumah, original is still pretty much better.


Tempat ketiga adalah toko aksesoris mobil yang menjual produk kw satu seharga produk non kw. Terus terang sampai saat ini belum pernah saya menemukan toko yang seperti ini.


Keempat tentu saja toko gadget dan komputer yang memasang label diskon 70% untuk setiap item yang baru launching. Again, sampai detik ini tempat semacam ini baru ada di Mall Khayalan.


Ketika tiba giliran membayar (buku) biasanya saya sibuk memaki-maki pemerintah yang punya andil besar bikin harga buku jadi mahal. Katanya ingin rakyat pintar tapi akses untuk jadi pintar koq dihambat. Harga buku mahal, internet mahal dan cepatnya seperti keong.


Dibanding dua tahun lalu, harga buku sekarang naik antara 5k - 20k. Ini perhitungan kasar saja. Jika dilihat per satuan kenaikannya tidak seberapa tapi menjadi masalah bagi mereka yang satu spesies dengan saya, yaitu kaum yang tidak bisa dipuaskan hanya dengan satu judul saja. Novel 300 halaman saja bisa disikat kurang dari empat hari apalagi bacaan ringan. Huh itu sih cuma dalam hitungan jam sudah kadaluarsa. Sebab itu kalau beli buku, bisa dua-tiga judul sekaligus.

Friday, February 09, 2007

If I could tell you...


I believe the best moment to listen to this guy is in a rainy night.
Saya tidak punya komentar apa-apa mengenai banjir ini kecuali kalau kejadian ini semakin membuktikan bahwa Jakarta bukan tempat yang ideal untuk ditinggali. Dulu jika ditanya apakah Jakarta tempat yang nyaman untuk dihuni jawaban saya tidak, maka sekarang menjadi tidak tidak dan tidak. Selain perasaan was-was ketika keluar rumah (jalanan banjir enggak, nanti bisa pulang enggak, mobil bisa lewat enggak...), jalanan juga menjadi kacau balau. Seharusnya satu arah menjadi dua arah. Motor nyelonong masuk tol (melawan arus lagi!). Di Daan Mogot sekelompok monyet memblokir sisi jalan yang aman dengan batu, kendaraan yang ingin lewat harus bayar upeti. *Can you imagine that?*


Kejadian ini sekaligus mengukuhkan watak bangsa Indonesia yang serakah dan tidak punya hati nurani. Di suatu kompleks perumahan yang tergenang, tim sar dilarang masuk oleh segerombolan kampret yang sedang cari untung sendiri atas musibah ini. Di tempat lain, korban banjir yang kelaparan diwajibkan membayar jika ingin mendapat jatah nasi bungkus. Pihak yang minta upeti beralasan jaman ini tidak ada makan siang gratis. Meski wilayah Jabodetabek yang tergenang mencapai 70%, Aburizal Bakrie kekeuh menuding media massa membesar-besarkan soal banjir ini. Belakangan, seorang penjabat partai mengirim sms mengajak menjarah. Di setiap kejadian, pemerintah selalu menjadi pihak yang paling telat bergerak. Dinas Kependudukan mengisyaratkan akan membantu pengurusan surat-surat yang musnah karena banjir seperti akte kelahiran dengan syarat ada kartu keluarga, surat keterangan dari kepolisian, surat pengantar dari RT dan beberapa syarat administrasi lainnya. Mau kiamat sekalipun, birokrasi harus tetap jalan, tidak boleh dipangkas apalagi disederhanakan. Hanya di Indonesia semua ini bisa ditemukan.


Dan karena bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf maka bulan depan masalah ini pun "dimaafkan" dan semua orang lupa hingga lima tahun kemudian ketika banjir besar datang lagi, barulah semuanya kembali ribut. Begitu terus berulang. Orang Indonesia memang tidak seperti bangsa lain yang suka belajar dari pengalaman.