Ada beberapa cara untuk ke Yogya dari Jakarta. Pertama tentu saja dengan membawa kendaraan sendiri, entah itu sepeda, becak, bajaj, motor atau mobil. Lama perjalanan sekitar 12 jam termasuk istirahat beberapa kali. Ini kalau dengan mobil, jika naik becak sudah tentu bakal molor apalagi kalau selama perjalanan si abang becak sering istirahat yang sekali berhenti bisa makan waktu satu jam termasuk dua gelas kopi dan beberapa linting rokok kretek.
Cara kedua dengan naik kereta api. Ada banyak pilihan jenis kereta tergantung budget, kelas bisnis KA Senja Utama tiketnya sekitar 100 ribu-an. Non ac dan berangkat dari stasiun Senen. Kelas eksekutif KA Taksaka tiketnya minimal 200 ribu, bisa naik pada peak season. AC, berangkat dari stasiun Gambir dan di kereta mendapat jatah selimut, bantal, dua potong roti dan segelas air mineral. Untuk Taksaka ada dua pilihan jadwal, pagi atau malam. Yang jadi favorit adalah Taksaka malam karena waktu perjalanan yang sekitar 8-9 jam, jadi kalau berangkat malam, sampai di stasiun Tugu Yogya sekitar jam 6-7 pagi. Waktu yang pas untuk mulai mengeksplorasi Yogya karena di saat itu para penjual gudeg dan soto baru saja selesai menata dagangannya.
Cara ketiga dengan naik pesawat. Harga tiket bervariasi tergantung seat dan airlines yang dipilih tapi rata-rata berkisar antara 350k - 700k. Beberapa airlines menjual promo seat yang tiketnya setara atau lebih murah dari tiket kereta tapi seat seperti ini sangat jarang, jumlahnya terbatas dan dapatnya untung-untungan. Lama perjalanan dengan pesawat sekitar 50 menit. Disarankan memilih airlines yang tidak hobi tergelincir dari landasan atau nyasar karena panjang landasan Adisucipto Yogya yang pendek, kalau pilotnya tidak jago bisa-bisa mendarat di sawah. Sebaiknya juga kalau naik pesawat ke Yogya, jangan pilih penerbangan malam sebab selain landasannya pendek, lokasi bandara Adisucipto sendiri dijepit bangunan-bangunan. Dulunya memang sekitar bandara masih kosong tapi sejalan dengan perkembangan kota, banyak hotel dan plaza dibangun sehingga bandara seolah-olah dikepung.
Cara keempat dengan jalan kaki. Modalnya cuma air minum, balsem, dan duit secukupnya untuk nebeng bis jika capek jalan kaki. Jangan lupa bawa walk-counter Anlene biar tahu sudah 10.000 langkah belum. Tidak disarankan untuk orang yang lemah jantung, lemah syaraf dan masih punya akal sehat.
Cara kelima dengan memejamkan mata, berkonsentrasi penuh pada tempat tujuan. Dijamin ketika membuka mata kembali kita sudah berada di Yoyga. Hemat waktu dan hemat fulus. Sayangnya cara ini membutuhkan skill "manipulating space-time continuum" seperti yang dimiliki
Hiro Nakamura dan tidak ada jaminan ketika sampai di Yogya kita masih berada dalam rentang waktu yang sama. Biasanya sih kalau tidak lompat ke masa depan, ya mundur ke masa lalu saat Belanda masih berkuasa.
Jadi, kita ke Yogya?