Iya menginapnya di sini. Standard room untuk tiga malam. Hotelnya sudah veteran dan beberapa bagian patutnya direnovasi biar tetap muda dan segar. Lantai kamar koq cuma keramik biasa tanpa karpet, kalah dengan hotel di Jakarta yang sekelas di bawahnya. Sambungan antar tegel sudah ada yang menghitam, pintu kamar mandi mulai keropos, dan untuk ukuran hotel bintang empat menu sarapannya ngebosenin dan kurang variasi. Koq enggak ada menu khas Bali di situ padahal umumnya hotel selalu menyediakan menu khas daerah setempat.
Itu minusnya, plusnya lokasi kamar yang super strategis, dekat coffe shop tempat sarapan, menghadap kebun, kolam renang dan pantai, cuma selemparan kolor dari kolam renang dan cuma dua lemparan kolor alias 20 detik jalan kaki ke pantai Kuta. Kita bisa ke pantai tanpa harus menyeberangi jalan raya Kuta karena lokasi hotel yang berhadapan langsung dengan bibir pantai. Jadwal rutin: jam enam pagi usai subuh jjp (jalan-jalan pagi) ke pantai sekedar cuci kaki dengan air selat Bali (di Jakarta mana bisa!), setengah delapan balik ke hotel buat sarapan lalu berendam di kolam renang yang sepiiiiiiiiiii, paling banyak cuma ada satu-dua bule di situ dan itu juga hanya berjemur. Pokoknya this is my pool and belongs to no one but me, me and me!
Ini danau yang letaknya di dataran tinggi di kawasan Bedugul. Cukup dingin di situ. Danaunya luas, bisa dikitari dengan boat. Boat disewa per unit Rp 120.000,- kapasitas enam orang termasuk supir. Naik boat bikin dinginnya angin lebih terasa lagi. Pada kondisi kabut tebal, danau tidak bisa dijelajahi karena jarak pandang yang hampir nol. Kalau malas naik boat, bisa juga mancing di pinggiran danau. Alat pancing disewakan.
Berseberangan dengan terminal air ada jejeran vila yang bisa disewa Rp 500.000,- semalam sudah termasuk transport dari/ke terminal. Tapi apa enaknya nginap di tempat terpencil seperti itu, tidak ada akses ke public area kecuali naik perahu. Itu pun dengan catatan cuaca cerah. Sayang di sana tidak sempat main-main ke kebun strawberrynya yang tersohor itu. Mungkin lain kali.
Danau Beratan punya pura yang diabadikan dalam pecahan uang Rp 50.000,-. Kalau ada uang lima puluh ribu, coba iseng-iseng teliti tulisan di samping gambar pura di situ, kalau cermat akan terbaca "Danau Beratan, Bedugul". Gambar di samping walaupun masih bagian dari pura di Danau Beratan tapi bukan bangunan yang ada di lembaran uang. Maklum perahunya goyang dombret terus dan terlanjur:
1. salah posisi buat memotret bangunan yang benar.
2. hati-hati menjaga kamera biar tidak mandi basah
3. extra hati-hati jaga diri biar tidak ikut-ikutan mandi basah.
Dari Bedugul kita naik ke Kintamani. Jalannya menanjak dan berkelok-kelok seperti ular, kiri-kanan kalau tidak hutan ya jurang dan dari semula melihat kabut di atas akhirnya malah berada di tengah-tengah kabut itu. Begitu sampai di Kintamani, huah dinginnya! Dari pantai yang panas cerah tahu-tahu ke gunung yang dingin berkabut, mantap. Apalagi saat itu sudah mulai sore, jadi makin nendang dinginnya. Dibanding dulu Kintamani sekarang sepi sunyi sendiri. Restoran di sepanjang jalan tidak ada yang buka, semuanya tutup dan kosong. Pedagang di sana membuat kita merasa jadi selebitri yang dikejar-kejar infotainment. Nawarin dagangannya seperti besok bakal kiamat. Sudah ditolak masih saja ngeyel. Kalo dibeli satu, kawan-kawan segank-nya jadi lebih hebat lagi memaksa kita membeli. Enough is enough. Sampai mereka berubah saya tidak akan kembali lagi ke Kintamani. Biar saja mereka mampus kalo cara berdagangnya masih seperti itu.
Kita juga sempat main-main ke patung setengah badan yang belum jadi ini. Dari hasil jalan-jalan ke sini saya jadi tahu kalau bawa Karimun jangan sekali-sekali nekat nanjak dengan ac terpasang kecuali ada yang mau turun dan membantu dorong. Mesin Suzuki Carry 1.0 yang dipasang sepertinya tidak didesain untuk pakai ac, sudah digas habis-habisan tapi mobil bukannya maju malah mundur dan diklakson motor di belakang.
Peta penunjuk arah ke kawasan GWK tidak ada dan akibatnya hampir saja kebablasan, apalagi papan namanya senada dengan background, sulit dilihat dalam terpaan sinar matahari. Masuk kompleks GWK dengan pelataran luas dan gunung yang dipotong-potong rasanya seperti berada di dalam game horror Doom atau Hexen. Apalagi langit mendung dan angin kencang, semakin klop jadinya. All I need now is my cheat code. Dari ketinggian kita bisa melihat kawasan Jimbaran, Kuta dan airpot Ngurah Rai.
Dari GWK kita turun ke Jimbaran, menghabiskan sunset terakhir di Bali ditemani satu porsi King Prawn bakar, ikan bakar, sate cumi bumbu bali dan kerang saus padang. Jimbaran sepi, sebagian karena musim liburan belum tiba, sebagian lagi karena jumlah turis asing memang turun tapi justru karena itu suasana pantai jadi lebih bisa dinikmati. Suara ombak jadi dominan dan tidak diganggu pedagang. Dibanding Kuta pantai di sini lebih kotor, dunno why, memang setting default-nya begitu atau kebetulan saja.
Pagi sebelum ke airport kita sempatin juga mampir ke pantai Sanur. Memang benar kata orang, dibanding Kuta Sanur lebih sepi tapi juga lebih panas. Tidak seperti Kuta yang landai, pantai Sanur lebih terjal tapi pasirnya terlihat lebih bersih. Pedagang di sana juga lebih ramah *baca: mau ditawar* dibanding Kuta. Mudah-mudahan ramahnya bukan cuma karena lagi mengharapkan pembeli lantaran sepi. Buat yang doyan explore area sambil jalan kaki, Kuta lebih cocok daripada Sanur. Kuta punya Kuta Square dan tidak jauh dari situ ada Legian. Jalan kaki di sekitar Kuta lebih enak karena banyak yang bisa dilihat. Tapi soal harga, heh, Kuta cuma ramah kalau kita punya uang.
Sebenarnya banyak yang belum dilihat. Ubud, Dreamland, Nusa Dua, Tanah Lot, Tampak Siring, juga belum sempat mencoba water adventure. Iya dua setengah hari efektif memang kurang. Maybe some other time. So Bali, I shall return.